Selasa, 24 April 2012
Hetifah Sjaifudian Siswanda,
anggota DPR dari F-PG
Wakil Rakyat Bumi Etam Ir Hetifah Sjaifudian Siswanda MPP PhD, adalah salah satu anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar yang vokal di Senayan. Di parlemen, mantan aktivis kampus ini siap ditempatkan di mana saja. Yang penting bagi dia, adalah memperjuangkan aspirasi masyarakat dan menyejahterakan rakyat.
Ir Siswanda Harso Sumarto MPM, dan ibu dari Amirah Kaca, Amanda Kistilensa, Asanilta Fahda, dan Nahla Tetrimulya ini, pernah ditugaskan di Komisi X yang membidangi pendidikan, kepemudaan, olahraga, kebudayaan, pariwisata, dan perpustakaan. Selama itu pula ia banyak menorehkan "jasa" terutama untuk daerah pemilihan (dapil)-nya, Bumi Etam: Kalimantan Timur. Alumni Perencanaan Kota dan Wilayah Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, menuntaskan Master in Public Policy (MPP) dari National University of Singapore, dan meraih gelar PhD dari School of Politics and International Relations, Flinders University Adelaide, Australia. Ia menulis disertasi berjudul "New Voices of the Community? Citizen Forums in Reformasi Era Indonesia," menelaah bagaimana cara warga dan kelompok-kelompok marjinal mempengaruhi kebijakan publik di daerah. Jauh sebelum masuk legislatif, Hetifah adalah akademisi dan sehari-hari bergelut di berbagai organisasi masyarakat sipil. Ia adalah salah satu pendiri AKATIGA Pusat Analisis Sosial, Indonesian Partnership on Local Governance Initiative, (sekarang Perkumpulan Inisiatif), dan Bandung Trust Advisory Group (B_Trust) untuk Reformasi Kebijakan Publik dan Tata Pemerintahan. Hetifah telah banyak menerbitkan artikel, laporan, dan karya ilmiah lainnya. Ia adalah penulis buku "Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia," yang menjadi salah satu referensi penting dalam praktik tata kelola pemerintahan partisipatif. Sebagai wakil rakyat, Hetifah aktif di Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sebagai Ketua Bidang Pendidikan, Ilmu, dan Teknologi. Pengurus Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) ini giat mendorong partisipasi perempuan dalam politik dan peningkatan kapasitas perempuan di berbagai wilayah/daerah di Indonesia. (Yudhiarma)
Pendidikan, Pemuda, Kesra,
hingga RUU Kaltara
Ir Hetifah Sjaifudian Siswanda MPP PhD adalah wakil rakyat asal daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Timur (Kaltim) yang aktif memperjuangkan aspirasi rakyat. Beragam program untuk rakyat, gigih ia perjuangkan di parlemen. Seperti pendidikan, kepemudaan, kesejahteraan rakyat (kesra), sampai pemekaran wilayah, otonomi daerah berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kalimantan Utara (Kaltara). Rencana pembentukan Provinsi Kaltara adalah pecahan dari Provinsi Kaltim yang sangat luas. Seperti diamanatkan dan dikampanyekan Partai Golkar, anggota F-PG DPR ini sangat vokal mengupayakan Pendidikan Gratis 12 Tahun. Sesuai "perintah" konstitusi, pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya menyelenggarakan pendidikan, termasuk memenuhi dan menjamin ketersediaan biaya yang dibutuhkan, bukan orang tua siswa, dan bukan pula masyarakat. "Semenjak lahirnya amandemen konstitusi yang memerintahkan alokasi sekurang-kurangnya 20 persen APBN untuk anggaran pendidikan serta lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003, Indonesia menetapkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yaitu kebijakan yang mengharuskan setiap warga negara berpendidikan minimal tamat SMP," ujarnya seperti dikutip Hetifah.com. Menurut Hetifah, dengan mempertimbangkan situasi global yang semakin sangat kompetitif pada semua bidang, Indonesia dinilai sudah saatnya mencanangkan perluasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (9 Tahun) menjadi Pendidikan Gratis 12 Tahun. Seiring semakin besarnya anggaran pendidikan dari 20 persen APBN akibat meningkatnya total anggaran negara dari tahun ke tahun, selayaknya Pendidikan Gratis 12 Tahun dapat segera diwujudkan di seluruh wilayah Indonesia mulai tahun 2012. "Dengan sinergi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN (untuk tahun 2012 mencapai Rp. 286,5 triliun) maupun APBD, maka cita-cita Wajar 12 Tahun yang bermutu akan mampu terealisasi. "Wajib Belajar 12 Tahun merupakan gagasan progresif dalam rangka mendorong pemenuhan hak warga negara akan pendidikan. Sesungguhnya, dengan kemauan dan komitmen politik yang kuat dari berbagai pihak, gagasan tersebut dapat direalisasikan segera. Melihat kemampuan anggaran kita, pendidikan 12 tahun, sekali lagi, sangat mungkin diwujudkan mulai tahun depan," katanya. Pemuda
Hetifah mengatakan, budaya kekerasan di kalangan generasi muda akibat kebijakan pemerintah yang tidak ramah dan berpihak kepada generasi muda. Ruang-ruang untuk berekspresi dan berpartisipasi untuk generasi muda tertutup. Dalam proses perencanaan anggaran, tutur Hetifah, tampak bahwa keberpihakan dan perhatian negara terhadap generasi muda minim. "Sebagai policy maker, baik itu pemerintah dan DPR, kita harus berani mengoreksi kebijakan. Generasi muda harus diberikan tempat yang lebih penting," ujarnya. Dia mengatakan, pemerintah harus dapat menjawab kerisauan di kalangan generasi muda. Menurut dia, generasi muda saat ini risau dengan masa depan yang mereka punya. Namun, kerisauan ini bukan satu-satunya faktor yang menumbuhkan nilai-nilai kekerasan di kalangan muda. "Ini fenomena 'gunung es'. Nilai kekerasan bukan semata karena kemiskinan. Orang muda tidak terlalu peduli apa yang akan kita makan. Yang mereka inginkan adalah eksistensi, kesempatan berpartisipasi, dan menunjukkan bahwa mereka juga bisa berperan," tuturnya. Oleh karena itu, Hetifah mengatakan, pihak-pihak pembuat kebijakan harus berani mengoreksi tentang bagaimana negara ini memperlakukan generasi muda. Hetifah menyarankan, revitalisasi organisasi masyarakat dan gerakan kepemudaan harus dilakukan. Menurut dia, keberadaan organisasi kepemudaan dapat menjadi kekuatan penyeimbang di tengah derasnya nilai-nilai kekerasan menerjang generasi muda saat ini. Pemuda, kata dia, menyimpan hasrat atau jiwa radikalisme. Negara, ucap dia, harus memberikan ruang untuk berekspresi dan berpartisipasi seluas-luasnya bagi generasi muda. Generasi muda, lanjut Hetifah, juga harus diberikan atau mendapat kesempatan menunjukkan eksistensinya. Saat ini, Hetifah mengatakan, pilihan-pilihan yang diberikan negara kepada generasi muda sedikit. Organisasi kemasyarakatan atau kepemudaan menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi ketertutupan ruang berekspresi dan berpartisipasi bagi generasi muda. Dia mengatakan, pendidikan sebagai saluran transformasi peradaban saat ini kering dengan nilai-nilai pluralisme. Pendidikan saat ini cenderung indoktrinatif, diskriminatif, dan intimidatif yang kering dengan nilai-nilai pluralisme. Selain itu, pendidikan saat ini tidak memberikan kesempatan para siswanya mengenal keberagaman. Ia mencontohkan, saat ini banyak bermunculan lembaga pendidikan yang hanya menerima peserta didik dari satu agama atau kepercayaan. Tanpa sadar hal itu telah menutup kesempatan orang sedari awal untuk diperkenalkan kepada sesuatu yang plural. "Orang tidak dibiasakan untuk bercampur di antara orang-orang (masyarakat-Red), terbiasa homogen di dalam kelompok sosialnya sendiri," ujarnya. Fenomena seperti ini mencemaskan, karena tidak ada kesempatan untuk mempelajari karakter sosial yang beragam. Tidak hanya itu saja, kata dia, konten pendidikan saat ini, disadari atau tidak, mengandung aspek kekerasan dan permusuhan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus diajarkan mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Presiden harus turun tangan untuk mengatasi fenomena yang mencemaskan ini. Presiden harus memerintahkan seluruh kementerian mengoreksi kebijakan, sehingga kebijakan yang diambil pada masa mendatang lebih menjawab persoalan. Selama ini, pemerintah lemah memandang persoalan radikalisme atau sikap kekerasan yang tumbuh di kalangan muda. "Seolah-olah ini dianggap sebagai kasuistik," ujarnya. Seharusnya, ucap dia, kasus-kasus yang muncul dapat dijadikan bahan menelaah lebih jauh kebijakan yang diambil pemerintah selama ini terhadap generasi muda. Sementara itu, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah Otonomi Baru yang sebelumnya pernah diusulkan Komisi II DPR. Ada 19 Daerah yang siap dimekarkan. Salah satunya adalah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Terlepas adanya moratorium penghentian sementara pemekaran, Hetifah menilai pemekaran daerah perlu dilakukan untuk mempercepat pembangunan daerah. "Pemerintah pusat memang punya banyak program daerah, tapi realisasinya banyak yang tidak jalan," ujarnya. (Yudhiarma)
Ida Fauziah, Anggota DPR dari
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Membuka Peluang Wanita di Politik
Saat ini, aturan tentang keterwakilan 30 persen perempuan dalam penyusunan calon legislatif (caleg) sebenarnya sudah baik. Namun, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan untuk meningkatkan kualitas diri. Menurut dia, aturan kuota 30 persen yang diberlakukan bagi caleg perempuan sudah diterapkan sejak Pemilu 2004. Hasilnya, dari 550 anggota DPR saat ini tercatat sebanyak 62 orang di antaranya adalah perempuan atau sekitar 11,3 persen. Jumlah ini mengalami peningkatan pada pemilu 2009 di mana terdapat sebanyak 101 anggota DPR perempuan atau 18,04 persen. "Jadi aturan keterwakilan ini cukup strategis karena pada Pemilu 1999 sebelum ada ketentuan 30 persen, jumlah anggota DPR perempuan hanya 45 orang dari 500 anggota DPR, atau hanya sekitar 9 persen saja," katanya. Meskipun demikian, dia mengaku cukup optimistis keterwakilan perempuan di DPR akan terus mengalami kenaikan pada Pemilu 2014. Yang terpenting, ujar dia, aturan tersebut juga diimbangi dengan pengawasan dan perjuangan dalam proses politik. "Yang dapat dilakukan adalah tetap mendorong dan mempertahankan penerapan kebijakan afirmatif dengan kuota 30 persen keterwakilan perempuan," katanya. Yakni, tetap mempertahankan dan melanjutkan kebijakan afirmatif ini dengan tetap memuat kebijakan tersebut dalam revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif maupun paket Undang-Undang politik. (Tri H)
Tetty Kadi Bawono, Anggota Fraksi Partai Golkar
Perlu Kesetaraan Gender
Undang-undang No 15 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu) makin memberikan peluang yang lebih terbuka kepada kaum hawa untuk berkiprah di dunia politik. Karena dalam undang-undang baru hasil revisi ini, kuota 30 persen bagi perempuan mendekati wajib. Bahkan, undang-undang ini juga mengatur, dalam setiap tiga caleg laki-laki harus ada caleg perempuannya. Sayangnya, peluang emas ini tidak sekonyong-konyong disambut dengan tangan terbuka oleh para perempuan. Karena ternyata masih banyak perempuan yang belum berminat menjadi politisi apalagi menjadi anggota DPR. Di sisi lain, pemberian peluang kepada perempuan ini masih tergantung kepada karakter partai yang bersangkutan. Bagi Partai Golkar yang memiliki organisai perempuan dengan jumlah anggota cukup besar, yakni KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar)), masalah kuota 30 persen perempuan di parpol dan parlemen, sudah menjadi barang wajib. Karena itu, perempuan-perempuan Partai Golkar menyambut baik undang-undang ini. Tetty Kadi Bawono adalah salah seorang politikus Partai Golkar ini dikenal dan gigih memperjuangkan kuota 30 persen. Tetty juga dikenal sebagai perempuan yang penuh semangat dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Ia kerap berbagi solusi masalah emansipasi wanita yang masih menjadi persoalan krusial di Indonesia. Penyanyi pop yang populer pada 1970-an ini turut memperjuangkan undang-undang yang menyamakan hak dan kewajiban wanita dengan pria. Legislasi itu dia upayakan karena berbagai kasus penistaan terhadap wanita kerap terjadi, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Karena itu, anggota Komisi IX DPR yang juga Sekretaris Umum Kaukus Perempuan Parlemen ini tak kenal lelah mendorong pengesahan UU Berkeadilan dan Kesetaraan Gender. "Kami sedang memperjuangkan dan mendorong agar UU Berkeadilan dan Kesetaraan Gender dapat segera disahkan," ujar pejuang kesetaraan perempuan ini. Sebagai politikus perempuan, Tetty memiliki kepedulian tinggi terhadap berbagai persoalan perempuan. Sebab, kata pelantun lagu hits di tahun 1970-an, Sepanjang Jalan Kenangan dan Teringat Selalu ini, perempuan sering menjadi korban berbagai persoalan kehidupan. "Coba Anda lihat, dampak dari persoalan pengangguran, korbannya perempuan; dampak dari masalah kemiskinan, korbannya juga perempuan. Begitu pun dengan persoalan ekonomi dan sosial lain. Perempuan selalu jadi korban, ujar wanita kelahiran Jakarta, 3 April 1952, ini. UU Kesetaraan Gender ini nanti, menurut mantan anggota DPRD Jabar ini, membuat hak-hak perempuan bisa lebih diperjuangkan. Diberlakukannya affirmative action, sejalan dengan pengesahan UU tersebut, akan membuat peluang perempuan duduk di parlemen lebih terbuka. "Sayangnya, belum akan diikuti kebijakan di instansi pemerintah. Masih sedikit perempuan yang memegang jabatan penting dan strategis di pemerintahan. Itulah yang akan kita perjuangkan melalui UU Kesetaraan Gender," ujar Tetty. Dengan adanya undang-undang yang baru ini, diharapkan perempuan tidak hanya akan mengisi kuota 30 persen di parlemen, tapi juga di instansi pemerintah. Namun sayangnya, lagi-lagi masalahnya disamping soal kebijakan partai bersangkutan, juga masalah tradisi dan budaya. (Kartoyo DS)
Melani Leimena Suhardi, Wakil Ketua MPR
Harus Ada Wanita Pimpin DPR
Peluang dan peran wanita era sekarang sudah sangat maju. Beberapa posisi penting baik di lembaga pemerintahan dan swasta banyak dipuncaki perempuan. "Lembaga pemerintah mulai dari kabinet, MPR dan DPD sudah melibatkan wanita di pucuk pimpinan. Begitu juga di BUMN dan perbankan nasional, perempuan sudah berperan dan berkiprah. Dan peran mereka sangat menonjol. Ke depan saya berharap salah satu pimpinan di DPR juga dipegang wanita," kata Melani. Menurutnya, saat ini wanita sudah banyak yang sukses dalam berkiprah di dunia politik dan memiliki pengaruh yang signifikan. "Hal yang cukup mengembirakan juga dari 50 persen wanita berpengaruh di Asia empat di antaranya dari Indonesia," tambah politisi Demokrat ini. Melani juga menekankan, peran wanita sekarang tidak ada lagi dikotomi ibu rumah tangga dengan wanita karier. Menurut Melani wanita karier dan ibu rumah tangga adalah pilihan. "Teknologi informasi yang berkembang pesat memungkinkan ibu rumah tangga juga dapat berkiprah banyak. Dia bisa menulis dan juga berwiraswasta lewat media online. Banyak ibu rumah tangga yang berhasil dengan memanfaatkan teknologi informasi ini," ujar Melani. Baik ibu rumah tangga maupun wanita karier, pesan Melani harus sama-sama mengedepankan pendidikan. Baik pendidikan untuk dirinya sendiri maupun pendidikan untuk anak-anaknya. "Pendidikan itu sangat penting. Negara yang tidak punya sumber daya alam saja tetapi sumber daya manusianya unggul mereka bisa eksis dan maju. Sementara Indonesia yang kayak dengan sumber daya alam melimpah lama-lama akan habis juga. Karena itu sumber daya manusianya harus unggul," katanya. (Rully) Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=301807